Sebagaimana visi Presiden Joko Widodo, menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bertujuan untuk memperkuat konektivitas antar pulau serta mendorong peningkatan infrastruktur pelabuhan di seluruh wilayah.
Wilayah kepulauan Indonesia mencakup lima pulau utama—Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua—serta lebih dari 17.000 pulau kecil. Namun, sebagian besar pulau-pulau kecil tersebut masih belum memiliki konektivitas yang memadai dengan pulau-pulau di sekitarnya.
Keterbatasan konektivitas paling nyata terjadi di wilayah-wilayah terpencil di bagian timur, khususnya di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
Dalam rangka mendukung kebijakan poros maritim, pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan rencana pembangunan sekitar 24 pelabuhan laut selama periode lima tahun ke depan.
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah berencana membangun 24 pelabuhan dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Ia menjelaskan bahwa kunjungannya ke Tianjin dilakukan karena pelabuhan tersebut merupakan yang terbesar, serta telah memiliki cetak biru pengembangan jangka panjang hingga 50–100 tahun ke depan. Pernyataan tersebut disampaikan saat beliau dalam perjalanan kereta dari Tianjin menuju Beijing, pada hari Minggu lalu.
Ia memahami bahwa selama bertahun-tahun, infrastruktur pelabuhan mengalami kurangnya perhatian dan menghadapi keterbatasan pendanaan. Akibatnya, banyak pelabuhan berada dalam kondisi yang tidak memadai, sehingga menghambat arus perdagangan maritim domestik maupun internasional melalui kerugian pendapatan, keterlambatan pengiriman dan hambatan prosedural.
Presiden mengungkapkan harapannya bahwa revitalisasi infrastruktur maritim, yang mencakup peningkatan kualitas pelabuhan dan armada kapal, dapat mendorong transformasi menjadi pusat aktivitas perdagangan dan maritim di kawasan regional.
Presiden berharap bahwa peningkatan konektivitas antar pulau akan mendorong pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal, sekaligus memperkuat pengawasan untuk mencegah eksploitasi sumber daya maritim oleh pihak asing.
Saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Myanmar pada tanggal 12–13 November 2014, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa sejumlah negara di kawasan Asia telah mengajukan tawaran kerja sama di bidang maritim.
Ia menekankan bahwa kemitraan dengan negara-negara Asia memiliki peluang yang sangat menjanjikan, namun diperlukan kajian mendalam agar seluruh pihak memperoleh manfaat secara adil tanpa menimbulkan kerugian.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa selain China, Korea Selatan dan India juga menunjukkan minat terhadap kebijakan poros maritim dan berkeinginan untuk menjalin kerja sama di sektor kemaritiman.
Ia menyampaikan bahwa India dan Korea Selatan telah menyatakan ketertarikannya untuk menjalin kemitraan di sektor pertahanan maritim, sedangkan China menunjukkan minat dalam memperluas kolaborasi di bidang industri kemaritiman.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa sekitar dua pertiga wilayah Indonesia merupakan perairan, yang menjadikan negara ini menarik untuk dijadikan mitra kerja sama. Ia menambahkan bahwa potensi kolaborasi di sektor maritim mencakup bidang perikanan, gas alam, minyak mentah serta berbagai komoditas lainnya.
Meski demikian, presiden menekankan bahwa setiap bentuk kemitraan harus memberikan manfaat yang jelas bagi semua pihak yang terlibat.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya melakukan perhitungan yang cermat terhadap proporsi keuntungan dan kerugian dalam setiap bentuk kerja sama. Ia menyatakan bahwa perlu diketahui berapa persen manfaat yang akan diperoleh masing-masing pihak. Menurutnya, kerja sama hanya akan bernilai jika Indonesia juga mendapatkan keuntungan yang jelas.
Zainal Arifin, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, menyampaikan pada hari Rabu bahwa konsep poros maritim dunia seharusnya diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi secara menyeluruh.
Zainal menegaskan bahwa konsep poros maritim idealnya mampu mendorong terciptanya ketahanan di sektor pangan, energi dan pertahanan, yang pada akhirnya akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Ia menyampaikan bahwa mengingat latar belakang Presiden Joko Widodo sebagai seorang pengusaha, wajar apabila konsep poros maritim yang diusung mencakup pembangunan tol laut, pengembangan pelabuhan serta penguatan sektor pelayaran dan transportasi.
Ia berpendapat bahwa prioritas utama harus diberikan pada pembangunan infrastruktur guna mewujudkan visi sebagai poros maritim dunia serta mendorong kemajuan sektor perikanan.
Ia menjelaskan bahwa program transmigrasi nelayan di masa lalu tergolong berhasil, namun hasil tangkapan ikan saat itu kurang diminati pasar. Sebagai contoh, di Provinsi Maluku, produksi ikan sangat melimpah, tetapi pada musim tertentu sebagian hasil tangkapan terbuang percuma akibat keterbatasan infrastruktur pasca panen yang belum memadai.
Zainal memberikan contoh bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor perikanan laut. Oleh sebab itu, pengembangan infrastruktur guna mendukung posisi sebagai poros maritim dunia perlu mencakup penerapan teknologi pasca panen di bidang perikanan.
Ia menyampaikan bahwa para nelayan sebenarnya telah mengenal sejumlah teknologi pasca panen tradisional, yang selanjutnya perlu dikembangkan menjadi teknologi yang lebih efisien dan sesuai kebutuhan.
Ia mencatat bahwa sejumlah teknologi pasca panen telah mengalami perkembangan. Sebagai contoh, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah berhasil merancang metode pengasapan dingin yang tidak memerlukan penggunaan api.
Dalam forum diskusi mengenai kemandirian sebagai poros maritim dunia yang berlangsung pada hari Kamis, Direktur Yayasan Solidaritas Nusantara, Engelina Pattiasina, menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo perlu memberikan penjabaran yang lebih mendalam terkait arah kebijakan dan pelaksanaan konsep poros maritim dunia.
Ia menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam terkait konsep poros maritim dunia yang diusung oleh Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, salah satu tujuan utama pasangan calon presiden Jokowi-JK yang disampaikan dalam kampanyenya adalah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat, berkembang dan tangguh, dengan fokus pada kepentingan nasional.
Engelina, yang pernah menjabat sebagai anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di DPR, menyampaikan bahwa gagasan poros maritim mencakup aspek internasional, regional dan nasional, serta melibatkan berbagai sektor kepentingan.
Ia menyatakan bahwa ketiadaan penjelasan mengenai konsep tersebut memicu kekhawatiran bahwa arah kebijakan maritim berpotensi menjadi pelengkap bagi inisiatif Jalur Sutera Maritim yang digagas oleh China.
Ia menilai bahwa jalur sutera memiliki nilai strategis yang tinggi. Dengan melihat keseriusan kampanye China di wilayah tersebut, kemungkinan besar rute ini akan terealisasi.
Ia menjelaskan bahwa adanya rencana untuk mendukung realisasi proyek jalur sutera memunculkan sejumlah pertanyaan, terutama terkait cara memperoleh keuntungan dari keterlibatan dalam proyek tersebut.
Ia menekankan bahwa pemerintah perlu menjaga konsistensi terhadap visinya untuk tampil sebagai aktor kunci dalam sektor maritim global, mengingat memiliki seluruh sumber daya yang diperlukan untuk menjadi pusat maritim dunia.
Ia menyatakan bahwa keterlibatan dalam proyek jalur sutera berpotensi berdampak pada kedaulatan nasional, dan menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo serta Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu memahami kondisi tersebut secara menyeluruh.