Belakangan ini, Rizal Sukma—seorang ahli terkemuka dan penasihat kebijakan luar negeri di pemerintahan Presiden Joko Widodo—mengemukakan konsep Poros Empat Asia. Dalam pandangannya, empat negara besar di Asia, yakni China, India, Indonesia dan Jepang, memiliki potensi untuk bersama-sama membangun dan membentuk kawasan Pan Indo-Pasifik, yang juga dikenal sebagai Pacindo.
Gagasan ini memiliki kemiripan dengan usulan koalisi lima negara Asia yang diajukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid sekitar 15 tahun silam. Dalam inisiatif tersebut, Gus Dur mengusulkan kerja sama antara China, India, Indonesia, Jepang dan Singapura. Koalisi tersebut tidak dimaksudkan sebagai aliansi pertahanan, melainkan sebagai bentuk kesepakatan untuk mendorong kolaborasi di bidang politik, ekonomi dan budaya, yang bertujuan membantu kebangkitan tiga kekuatan utama Asia dengan dukungan dari Jepang dan Singapura.
Konsep G-4 Asia yang diajukan oleh Rizal Sukma berlandaskan pada lima asumsi utama. Salah satunya adalah keyakinan terhadap pentingnya solidaritas Asia dan visi tentang Abad Asia, yang diperkirakan memperoleh dorongan baru dari konferensi Afro-Asia yang baru saja berlangsung pada bulan April 2015. Dalam konferensi tersebut, para pemimpin dari sekitar 100 negara di kawasan Asia dan Afrika berkumpul untuk memperingati 70 tahun semangat solidaritas Afro-Asia.
Kedua, pemerintah tengah mengembangkan peran dan pengalaman sebagai perancang utama dalam kawasan regional. Kemampuan ini menjadi salah satu keunggulan, sebagaimana terlihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan dan meluasnya berbagai inisiatif kerja sama yang diprakarsai oleh ASEAN. Selain itu, posisi pemerintah dapat dikatakan lebih menguntungkan dibandingkan tiga negara besar Asia lainnya, karena telah menjalin kemitraan strategis dengan ketiganya dan berusaha menerapkan pendekatan multi alignment yang berlandaskan prinsip kesetaraan dan partisipasi sejajar.
Ketiga, konsep ini menekankan bahwa tanggung jawab untuk menciptakan dan menjaga ketertiban kawasan seharusnya berada di tangan empat negara utama di Asia, bukan diserahkan kepada pihak luar. Esensi dari gagasan ini adalah bahwa para pemimpin regional harus secara kolektif mengambil peran aktif dalam membentuk tatanan kawasan, alih-alih bergantung pada kekuatan eksternal.
Keempat, gagasan ini berakar pada berbagai inisiatif terbaru yang dilakukan oleh para pemimpin utama di Asia untuk menjaga jalur dialog dan komunikasi tetap terbuka. Rizal mencatat bahwa negara-negara besar tengah berupaya menyelesaikan ketegangan di antaranya, seperti antara Amerika Serikat dan China, India dan China, Jepang dan Korea Selatan serta Jepang dan China.
Terakhir, gagasan tersebut mengambil momentum dari kekhawatiran akan memburuknya relasi antara dua kekuatan besar, Amerika Serikat dan China, yang dipandang melalui lensa Perangkap Thucydides—sebuah teori tentang konflik yang muncul ketika kekuatan baru menantang dominasi kekuatan lama.
Walaupun tiga asumsi awal terlihat masuk akal dan realistis, dua asumsi terakhir menimbulkan keraguan. Sebagai ilustrasi pada asumsi keempat, hubungan antara India dan China yang sebelumnya berstatus kemitraan strategis sejak tahun 2005 kini tampaknya telah bergeser menjadi sekadar kemitraan pembangunan. Sementara itu, pada asumsi kelima, tantangan tersendiri muncul bagi Presiden Jokowi untuk meyakinkan Abe dan Modi agar bersedia bekerja sama dengan Xi, semata-mata karena China dan Amerika Serikat tengah berada dalam dinamika Perangkap Thucydides.
Usulan ini menunjukkan penyimpangan dari kecenderungan kerja sama regional yang berlaku saat ini dalam empat aspek utama. Pertama, berbeda dengan perjanjian trilateral yang telah ada—seperti Australia-Jepang-Amerika Serikat; India-Jepang-Amerika Serikat; dan Australia-India-Jepang—karena melibatkan China sebagai bagian dari inisiatif. Kedua, tidak ada keterlibatan kekuatan di luar kawasan, kecuali Rusia dan Amerika Serikat, dalam rangka mengikutsertakan China, yang tampaknya menjadi satu-satunya aktor yang aktif mendorong perubahan terhadap tatanan yang ada. Ketiga, rancangan kerja sama ini tidak didasarkan pada platform regional yang paling berhasil, yaitu ASEAN dan berbagai inisiatif yang dipimpin oleh ASEAN. Terakhir, proposal tersebut tidak mencakup tiga negara berkekuatan menengah yang memiliki peran penting di kawasan, yakni Australia, Korea Selatan dan Vietnam.
Apa makna dari usulan tersebut bagi Indonesia dan ASEAN? Bagi sebagian kalangan, gagasan ini dianggap sebagai indikasi bahwa peran ASEAN dalam strategi kebijakan luar negeri semakin tersisih di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Seperti yang diungkapkan oleh Endy Bayuni, jurnalis senior dan editor The Jakarta Post, bahwa di bawah pemerintahan Jokowi, arah kebijakan menjadi lebih tegas, bahkan mungkin terlalu percaya diri, sehingga cenderung mengambil langkah sendiri tanpa melibatkan ASEAN.
Dengan kembali menyoroti pandangannya bahwa ASEAN merupakan suatu bentuk keterbatasan, Rizal mereduksi peran organisasi tersebut dan menekankan urgensi serta signifikansi strategis dari KTT Asia Timur (EAS). Menurutnya, ASEAN tidak akan mampu mempertahankan peran sentralnya tanpa kesadaran akan pentingnya reformasi dan langkah konkret menuju pelembagaan yang lebih kuat. Pola pikir strategis ini mencerminkan bahwa meskipun ASEAN belum sepenuhnya ditinggalkan, arah kebijakan justru bergerak lebih jauh dan menyimpang dari jalur sebelumnya. Pemerintah tampak meninggalkan pendekatan yang oleh mantan Presiden SBY disebut sebagai geopolitik kerja sama, dan kini lebih condong pada dinamika politik antar kekuatan besar. Seperti yang pernah diungkapkan Barry Desker, Indonesia sebagai kekuatan yang tengah tumbuh tampaknya mulai melampaui kerangka ASEAN.
Sejak gagasan Asia-5 yang dicetuskan oleh Gus Dur, dinamika kawasan maupun situasi telah mengalami banyak perubahan. Pernyataan Rizal Sukma pada tahun 2009—yang bernada kritis terhadap pemerintah karena dinilai beroperasi di bawah potensinya akibat keterikatan pada ASEAN—telah memicu diskusi penting di dalam negeri mengenai ambisi regional dan konsistensinya dalam mempertahankan statusnya. Kini, Indonesia telah muncul sebagai kekuatan baru di kawasan Indo-Pasifik, dengan aspirasi untuk memperoleh posisi sejajar di antara negara-negara besar di tingkat regional. Para pengamat pun menyematkan berbagai label, seperti kekuatan baru, negara penyeimbang global, kekuatan demokrasi yang sedang tumbuh, negara adikuasa demokrasi muslim pertama, serta Indonesia yang tengah menanjak.
Meski gagasan tersebut mencerminkan ambisi besar, juga memperlihatkan ketidaksesuaian antara klaim atas peran strategis dan posisi aktual dalam lanskap regional. Konsep Big Four memang menempatkan sejajar dengan kekuatan besar seperti India, China dan Jepang, serta memperkuat narasi tentang peran dalam kawasan Pan Indo-Pasifik. Namun, komitmen yang terus berlanjut terhadap pendekatan sebagai kekuatan menengah justru membuat status tampak lebih rendah, seolah berada di lapisan kedua. Jika dapat bergabung dalam kelompok tersebut sebagai kekuatan menengah, maka muncul pertanyaan: mengapa negara-negara Asia lain yang juga tergolong kekuatan menengah seperti Korea Selatan, Australia atau bahkan Vietnam tidak turut serta?
Secara ringkas, terlihat bahwa pemerintah memiliki pola pikir layaknya kekuatan besar, namun tindakannya masih mencerminkan karakter kekuatan menengah. Strategi sebagai kekuatan menengah ini justru menjadi kemunduran, terutama ketika telah—atau ingin—diakui sebagai negara yang tengah tumbuh menjadi kekuatan regional. Di sisi lain, tiga negara besar Asia lainnya telah secara tegas menyatakan diri sebagai kekuatan utama kawasan. Ketidaksesuaian antara ambisi dan tindakan ini juga bertentangan dengan peringatan Rizal sendiri agar tidak bertindak di bawah kapasitasnya. Dengan demikian, bukanlah keterbatasan ASEAN yang menyebabkan bertindak di bawah potensinya, melainkan pilihan strategis yang membatasi diri sebagai kekuatan menengah secara sengaja dan membatasi peran regionalnya.
Apabila waktunya telah tiba untuk membentuk kelompok Empat Besar di Asia, maka pemerintah perlu terlebih dahulu merumuskan kembali arah dan sikap regionalnya. Jika ingin dipandang setara dengan negara-negara besar, pemerintah harus menetapkan dengan jelas posisi yang ingin dicapainya, bukan terus berada di antara peran sebagai kekuatan besar dan kekuatan menengah. Ketidakjelasan ini telah membayangi kepemimpinan nasional selama setidaknya lima tahun terakhir. Kini saatnya bagi Indonesia yang tengah tumbuh untuk menyusun strategi besar sebagai kekuatan yang sedang berkembang. Langkah ini akan semakin memperkuat konsep Poros Empat Asia yang digagas oleh Rizal Sukma.