KPK Gagal Bertahan, Pemerintahan Jokowi Terancam oleh Krisis Integritas

Setelah enam bulan menjabat sebagai presiden, Joko Widodo dihadapkan pada sebuah krisis serius. Pemerintahannya mengalami hambatan akibat kinerja kabinet yang kurang antusias serta sikap legislatif yang cenderung menghalangi. Kondisi ini membuat upaya untuk menghentikan aksi aparat kepolisian yang diduga korup dan berusaha melemahkan lembaga antikorupsi nasional menjadi tampak tidak efektif.

Joko Widodo memenangkan pemilihan dengan komitmen untuk meneruskan agenda reformasi yang telah diperjuangkan sejak era pasca-Soeharto, khususnya dalam memerangi korupsi yang telah mengakar luas. Kemenangan tersebut dipandang sebagai keberhasilan dalam mengalahkan kekuatan politik yang dipimpin oleh rivalnya, Prabowo Subianto, yang dianggap berpotensi membawa kembali ke masa kelam pemerintahan otoriter berbasis kroni.

Joko Widodo belum berhasil memenuhi ekspektasi besar yang menyertai kepemimpinannya. Secara khusus, ia dinilai tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang saat ini menghadapi tekanan berat dari sejumlah tokoh berpengaruh yang sebelumnya menjadi objek penyelidikan lembaga tersebut.

Walau usianya baru sekitar 10 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjelma menjadi institusi yang paling dipercaya publik, dengan citra yang bahkan melampaui hasil kerjanya secara nyata. Di bawah kepemimpinan komisioner yang berkomitmen tinggi, KPK mampu menembus lapisan elite politik di berbagai level. Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga ini sukses menindak puluhan anggota parlemen dan menteri—baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun—dari seluruh partai besar.

KPK juga telah menyasar pejabat tinggi di lembaga penegak hukum, termasuk di jajaran kepolisian, meskipun langkah ini membuat lembaga tersebut berada dalam risiko yang sangat besar.

Pada tahun 2009, sebagai bagian dari penyelidikan kasus korupsi, KPK melakukan penyadapan terhadap telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. Tindakan ini memicu respons dari kepolisian yang kemudian menangkap dua komisioner KPK dengan tuduhan penipuan, sehingga mereka harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Namun, setelah terungkap bahwa tuduhan tersebut merupakan hasil rekayasa, keduanya akhirnya dikembalikan ke posisi semula. Nasib berbeda dialami oleh Ketua KPK, yang setelah menjalani persidangan tanpa bukti kuat atas keterlibatannya, tetap dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan pembunuhan.

Pada tahun 2012, upaya KPK untuk menyelidiki mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko Susilo, mendapat hambatan dari pihak kepolisian. Ketika tim penyidik KPK melakukan penggeledahan di Markas Besar Polri untuk mencari bukti, justru ditahan. Ketegangan ini baru mereda setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Setelah itu, KPK melanjutkan proses hukum terhadap Djoko, yang akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun—sebuah langkah yang memicu keinginan balas dendam dari pihak kepolisian.

KPK kembali menghadapi ujian berat, kali ini setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perwira tinggi kepolisian. Menjelang akhir tahun 2014, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencananya untuk mengangkat Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian. Namun, KPK mengungkap bahwa Budi tengah diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi, dan meminta presiden untuk membatalkan pengangkatannya. Sebagai respons, Jokowi memilih menunjuk seorang perwira senior lainnya sebagai pelaksana tugas Kapolri tanpa batas waktu yang jelas, meninggalkan polemik yang belum menemukan titik akhir.

Sebagai bentuk respons, pihak kepolisian mengajukan dakwaan terhadap tiga komisioner KPK atas dugaan pelanggaran yang diduga bersumber dari bukti yang tidak valid. Tindakan Presiden Joko Widodo yang memberhentikan sementara para komisioner tersebut secara luas dipandang sebagai bentuk pembenaran atas tekanan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap KPK. Saat ini, polisi juga telah menyatakan akan melakukan penyelidikan terhadap dua komisioner KPK lainnya yang masih menjabat.

Meski menghadapi tekanan, penyidik KPK tetap melanjutkan proses hukum terhadap Budi dengan tuduhan korupsi. Secara mengejutkan, Budi mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dan berhasil memperoleh putusan yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menyelidikinya—putusan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pimpinan sementara KPK, yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menggantikan komisioner yang diberhentikan sementara, kemudian memutuskan untuk menghentikan penyidikan terhadap Budi. Keputusan ini menandai kali pertama KPK menghentikan proses penyidikan setelah menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Tekanan terhadap KPK dan para pendukungnya berhenti pada titik tertentu, sebagian karena posisi Presiden Joko Widodo yang dianggap kurang kuat dan tidak memiliki dukungan penuh. Ia merupakan presiden pertama yang tidak memimpin partai politiknya sendiri. Sebaliknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dipimpin oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri, yang dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang tegas dan dominan.

Situasi yang cukup mencemaskan bagi Presiden Joko Widodo adalah keterlibatan erat PDI-P dalam tekanan terhadap KPK, yang diduga sebagai reaksi atas proses hukum terhadap sejumlah kader partai tersebut. Jokowi berada dalam posisi terbatas, karena memerlukan dukungan PDI-P untuk mengesahkan berbagai undang-undang. Lebih rumit lagi, Megawati Soekarnoputri dikabarkan memiliki hubungan dekat dengan Budi Gunawan dan disebut-sebut sebagai pihak yang mendorong dukungan Jokowi terhadapnya sejak awal—sementara partainya terus mengupayakan agar Budi tetap ditunjuk.

Situasi ini telah membuat KPK kehilangan daya geraknya, sementara Presiden Joko Widodo terlihat berada dalam posisi yang sulit dan kurang berpengaruh. Jika ia tidak mampu mengendalikan institusi kepolisian maupun partai politik pendukungnya, bukan tidak mungkin akan menghadapi tantangan politik yang serius ke depannya.

Selama ini, masyarakat sipil dan komunitas media sosial memberikan dukungan kepada Jokowi karena adalah presiden pilihan rakyat—figur luar yang terpilih dengan janji membawa perubahan dan memberantas korupsi. Dukungan kolektif inilah yang menjadi kunci kemenangannya di masa-masa akhir kampanye pemilihan presiden. Namun, kini mulai muncul kepanikan. Meskipun Jokowi belum memenuhi harapan tersebut, para tokoh masyarakat sipil masih enggan mencabut dukungannya. Meski begitu, kekhawatiran bahwa bisa menjadi sasaran berikutnya semakin terasa nyata di kalangan publik.

Setelah berhasil melemahkan KPK, pihak kepolisian tampaknya mulai mengarahkan perhatian pada para pendukung utama komisioner KPK dari kalangan masyarakat sipil, akademisi dan berbagai sektor lainnya—dengan kembali mengajukan dakwaan yang diduga tidak berdasar. Salah satu kasus yang mencuat adalah tuduhan terhadap Profesor Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM di era pemerintahan SBY, yang dikenal sebagai aktivis antikorupsi yang vokal dan berani serta dosen tamu di University of Melbourne. Beberapa hari lalu, ia didakwa atas dugaan korupsi, meskipun hingga kini belum ada bukti konkret yang menunjukkan keterlibatannya dalam tindak pidana tersebut.

Sebagai dampak dari situasi yang berkembang, sejumlah tokoh masyarakat sipil kini terlihat ragu dan memilih untuk tidak bersuara, meskipun pada tahun 2009 pernah menyuarakan dukungan kuat terhadap KPK. Aksi demonstrasi dan pernyataan publik yang dulu menjadi simbol perlawanan terhadap kepolisian kini nyaris tak terlihat. Bahkan sebagian besar media massa tampak enggan bersikap kritis, kecuali segelintir yang tetap berani menyuarakan pendapat.

Situasi ini mengindikasikan bahwa dukungan dari masyarakat sipil terhadap Jokowi bisa memudar jika kondisi terus memburuk. Kehilangan dukungan tersebut akan menjadi pukulan berat bagi kepemimpinannya. Selama ini, masyarakat sipil telah menjadi jembatan penting bagi Jokowi untuk menjangkau basis massa, mengingat dukungan dari kalangan elite politik sangat terbatas. Jika kepercayaan publik runtuh, kelompok elite yang berada di sekitar Megawati Soekarnoputri berpotensi mengambil alih kendali sepenuhnya atas dirinya. Dalam skenario terburuk, Jokowi bahkan bisa menghadapi risiko pemakzulan dan tersingkir dari jabatannya.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo tengah berada di titik kritis, bersamaan dengan upaya reformasi antikorupsi yang juga menghadapi tantangan serius. Kedua aspek ini kini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Visited 2 times, 1 visit(s) today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *