Kabut asap belakangan ini menyelimuti sebagian wilayah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Penurunan kualitas udara yang parah, ditambah pernyataan tegas dari para pejabat, telah memicu ketegangan di antara ketiga negara tersebut.
Setiap kali kabut asap kembali muncul, biasanya disertai dengan saling tuding yang intens, sementara para pejabat segera mengadakan perundingan tingkat tinggi untuk mencari mekanisme baru dalam mengatasi masalah tersebut. Namun, ketika langit kembali cerah dan debu mereda, komitmen yang dibuat dalam pertemuan tersebut sering kali menghilang begitu saja.
Selama 18 tahun terakhir, kabut asap akibat kebakaran hutan menjadi masalah tahunan yang bersumber dari praktik tebang bakar yang dilakukan perusahaan untuk membuka lahan perkebunan skala besar. Penurunan kualitas udara akibat kabut asap, ditambah pernyataan provokatif dari para pejabat, telah memicu ketegangan di antara ketiga negara.
Sikap Tidak Menyesal?
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengkritik Singapura dan Malaysia karena mengeluhkan kabut asap telah memicu ketidakpuasan di ketiga negara, termasuk di kalangan warga Indonesia yang merasa bahwa komentar tersebut tidak mencerminkan pandangannya. Jusuf Kalla menyatakan bahwa selama sebelas bulan negara tetangga menikmati udara bersih dari Indonesia tanpa mengucapkan terima kasih, namun menjadi marah saat menghadapi kabut asap selama satu bulan. Meskipun berasal dari seorang wakil presiden, pernyataan tersebut tidak merepresentasikan sikap resmi pemerintah. Selain itu, komentar tersebut juga tidak menggambarkan penderitaan jutaan warga di Sumatra dan Kalimantan yang terdampak oleh kabut dan polusi asap.
Hamdhani Mukhdar Said, anggota DPR RI yang menangani isu lingkungan dan hubungan internasional, baru-baru ini menyampaikan permintaan maaf kepada Singapura dan Malaysia terkait kabut asap yang melanda kawasan tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah menyediakan dana sebesar $1 juta untuk membantu provinsi-provinsi yang terkena dampak kebakaran hutan. Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan, telah melakukan pertemuan penting dengan Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen, guna menyampaikan bahwa pemerintah sangat serius dalam menangani persoalan ini.
Presiden-presiden terdahulu juga pernah menyampaikan permintaan maaf atas kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Meski permintaan maaf penting, langkah nyata untuk mengatasi masalah adalah hal yang berbeda. Saat ini, pemerintah telah mengerahkan 19 helikopter dan dua pesawat Air Tractor untuk melakukan pengeboman air, serta empat pesawat untuk menyemai awan. Di samping itu, ada rencana untuk menyewa pesawat tanker amfibi buatan Rusia guna membantu memadamkan kebakaran yang masih berlangsung. Walaupun upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menangani persoalan tersebut, sebagian besar tindakan yang diambil bersifat responsif, bukan pencegahan.
Sikap Pemerintah yang Membingungkan terhadap Bantuan
Respons pemerintah terhadap tawaran bantuan dari Singapura terkesan tidak konsisten. Dalam pertemuan Sidang Umum PBB ke-70 di New York, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah bersedia menerima bantuan dan meminta Singapura untuk bertindak nyata, bukan sekadar menyampaikan pernyataan. Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, yang menegaskan bahwa pemerintah akan menangani persoalan ini secara mandiri tanpa dukungan dari negara lain.
Penolakan terhadap bantuan asing kemungkinan dipengaruhi oleh semangat nasionalisme pemerintahan saat ini, meskipun bisa juga didasari pertimbangan praktis. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti pengeboman air dan penyemaian awan dengan puluhan pesawat, serta mengerahkan sekitar 3.000 personel militer untuk menangani kebakaran di darat. Meski demikian, efektivitasnya terbatas karena api sering kali tidak tampak dan menyala hingga kedalaman tiga sampai lima meter di bawah tanah. Pemerintah juga kerap mengungkapkan tantangan dalam menjaga koordinasi antara tim dari Singapura dan lembaga-lembaga lokal apabila bantuan dari negara tersebut diterima.
Batasan Diplomasi dalam Menangani Masalah Kabut Asap
Malaysia, seperti halnya Singapura, menunjukkan antusiasme dalam membantu penanganan kabut asap. Menteri Pertahanan Malaysia, Hishammuddin Hussein, menyampaikan niatnya untuk berkomunikasi dengan rekannya di Singapura guna membahas bentuk bantuan yang bisa diberikan oleh Malaysia. Sementara itu, Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Malaysia, Wan Junaidi Tuanku Jaafar, menegaskan kesiapan negaranya untuk menawarkan keahlian dan pengetahuan, termasuk dalam hal pencegahan kebakaran di lahan gambut. Langkah kerja sama ini berpotensi dimulai setelah Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan kesediaannya menerima bantuan dari Singapura maupun negara lain.
Malaysia, selaku Ketua ASEAN tahun 2015, telah berusaha mendorong organisasi tersebut agar mengambil langkah yang lebih tegas dalam menangani polusi kabut asap. Dalam Sidang Umum ke-36 Majelis Antar Parlemen ASEAN yang berlangsung di Kuala Lumpur pada tanggal 8 September 2015, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, mengajak seluruh 10 negara anggota untuk berpartisipasi secara bersama dalam mengatasi permasalahan kabut asap.
Malaysia memahami bahwa jika masalah kabut asap terus berlanjut, hal tersebut berpotensi merusak hubungan antara ketiga negara. Melihat adanya ketegangan antara Indonesia dan Singapura terkait isu tersebut, Malaysia berupaya agar situasi serupa tidak terjadi dalam relasinya. Selain itu, Perdana Menteri Malaysia, Najib, kembali menegaskan bahwa setiap warga di kawasan Asia Tenggara memiliki hak untuk menikmati udara yang bersih.
Walaupun Malaysia dan Singapura telah menawarkan bantuan untuk memadamkan kebakaran, langkah tersebut masih terbatas karena tidak menyentuh akar persoalan yang bersumber dari kondisi dalam negeri, seperti lemahnya tata kelola akibat desentralisasi serta adanya kolusi antara perusahaan perkebunan dan pemerintah daerah. Meski kedua negara tersebut tidak memiliki kapasitas untuk secara langsung menangani isu internal tanpa berisiko mengganggu hubungan diplomatik, tindakan Singapura yang menindak perusahaan-perusahaan yang membakar lahan konsesi telah menjadi contoh bagi pemerintah, yang kemudian mengambil langkah serupa terhadap puluhan perusahaan yang melakukan pelanggaran serupa.
Diperlukan Upaya Jangka Panjang dan Terpadu
Penanganan kabut asap memerlukan langkah-langkah baik di tingkat regional maupun nasional. Secara regional, dibutuhkan pendekatan yang lebih terkoordinasi untuk membentuk sistem penegakan hukum yang efektif dalam mengatasi kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Sebagai catatan, dalam Pertemuan ke-17 Komite Pengarah Sub Regional mengenai Polusi Kabut Asap Lintas Batas yang berlangsung pada bulan Juli tahun ini, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menandatangani Nota Kesepahaman sebagai bentuk kerja sama yang lebih erat dalam menangani isu tersebut. Selain itu, pemerintah juga berencana menandatangani Nota Kesepahaman serupa dengan Singapura, Thailand dan Brunei.
Pemerintah perlu menangani penyebab utama di dalam negeri yang turut memicu terjadinya kabut asap. Langkah pertama adalah memperkuat penegakan hukum guna memberantas praktik korupsi yang muncul akibat kolusi antara pejabat daerah dan perusahaan perkebunan. Selanjutnya, diperlukan reformasi kelembagaan untuk mengatasi berbagai kelemahan yang timbul dari sistem desentralisasi pemerintahan daerah. Pengawasan terhadap aktivitas pembakaran juga harus diperketat, serta tindakan tegas perlu diambil terhadap perusahaan maupun individu yang terbukti melakukan pembakaran hutan secara ilegal.
Upaya memadamkan kebakaran untuk meredakan kabut asap hanya bersifat sementara. Presiden Jokowi telah menginisiasi strategi jangka panjang dengan membangun kanal-kanal di lahan gambut sebagai langkah pencegahan kebakaran saat musim kemarau. Namun, berbagai persoalan mendasar seperti lemahnya respons regional terhadap kabut asap dan tantangan domestik yang belum terselesaikan diperkirakan akan terus berlangsung selama bertahun-tahun, sebelum solusi jangka panjang yang efektif benar-benar dapat diterapkan untuk membersihkan udara di kawasan ini dari kabut asap.