Rancangan Undang-Undang tentang Amnesti Pajak, yang memberikan perlindungan bagi pelaku korupsi dari tuntutan hukum dan sanksi saat mengembalikan dana dari luar negeri serta memenuhi kewajiban pajak, akan segera dibahas oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kebijakan pengampunan pajak ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak pada tahun mendatang. Berdasarkan data terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, hingga periode tanggal 1 Januari hingga 5 Oktober 2015, pemerintah hanya berhasil mengumpulkan Rp686 triliun atau sekitar 53% dari target penerimaan pajak tahun 2015.
DPR sebelumnya mengajukan usulan agar kebijakan pengampunan pajak juga mencakup pelaku usaha lokal di sektor informal yang cukup besar di negara ini. Hal ini karena banyak darinya enggan mendaftar akibat kekhawatiran terhadap kewajiban pajak yang tertunggak.
Kebijakan amnesti pajak dirancang untuk memberi peluang kepada wajib pajak yang menyimpan dana di luar negeri agar dapat memulangkannya. Namun, karena proses pembahasan dan penerapan kebijakan ini memerlukan waktu, dampaknya kemungkinan tidak akan terasa dalam peningkatan penerimaan pajak tahun 2015. Dalam APBN Perubahan 2015, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.294 triliun. Meski demikian, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Sigit Priadi Pramudito, memprediksi realisasi hanya mencapai sekitar 91,3% dari target tersebut hingga akhir tahun. Kekurangan ini berpotensi mengganggu arus kas negara dan pendanaan program pemerintah, mengingat sekitar 75% APBN bergantung pada pajak perusahaan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam APBN 2016, pemerintah mengajukan target penerimaan pajak sebesar Rp1.369 triliun, meningkat hampir 6% dibandingkan target tahun sebelumnya. Namun, kenaikan ini dinilai terlalu optimistis mengingat target tahun berjalan diperkirakan tidak tercapai. Selain itu, pemerintah memiliki catatan kurang baik dalam merealisasikan target pajak, karena hanya dua kali berhasil mencapainya dalam 10 tahun terakhir. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyeimbangkan antara menetapkan target yang tinggi untuk menjaga kewaspadaan dan bersikap realistis agar kegagalan berulang tidak merusak kepercayaan publik terhadap otoritas fiskal.
Rendahnya penerimaan pajak sebagian dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi yang menekan laba dan penjualan perusahaan, serta turunnya harga komoditas. Namun, persoalan utama terletak pada masalah struktural yang menyebabkan rasio pajak terhadap PDB tetap rendah. Pada tahun 2014, rasio ini diperkirakan hanya 10,8%, termasuk salah satu yang terendah di dunia. Sebagai perbandingan, negara maju umumnya memiliki rasio antara 25% hingga 50%. Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia tertinggal dari sejumlah negara berkembang seperti Thailand (17,0%), Malaysia (15,5%), Filipina (14,4%), Singapura (14,2%) dan Vietnam (13,8%).
Tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Dari lebih dari 185 juta penduduk dewasa, hanya sekitar 27 juta yang terdaftar sebagai wajib pajak, dan dari jumlah tersebut, hanya 10 juta yang benar-benar memenuhi kewajibannya. Padahal, menurut Kementerian Perekonomian, setidaknya 44 juta orang seharusnya membayar pajak. Kondisi ini mencerminkan tingginya praktik penghindaran pajak. Selain itu, sektor informal masih mendominasi perekonomian, baik di pedesaan maupun perkotaan. Meski sulit menentukan angka pasti, diperkirakan 55–65% lapangan kerja berada di sektor informal, dengan sekitar 80% di antaranya terkonsentrasi di pedesaan, terutama pada sektor konstruksi dan pertanian.
Penghindaran pajak terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah dan penegakan hukum yang tidak efektif. Selain itu, ada anggapan bahwa sebagian dana pajak disalahgunakan oleh oknum pejabat, yang membuat masyarakat enggan membayar pajak. Di luar isu korupsi, masalah juga muncul akibat kurangnya jumlah pegawai pajak, yang disebabkan keterbatasan anggaran dan hambatan birokrasi. Menurut Sigit Priadi Pramudito, saat ini hanya ada sekitar 37.000 pegawai pajak, sehingga satu petugas harus melayani sekitar 7.000 penduduk—rasio yang jauh lebih rendah dibandingkan negara lain. Ia menambahkan bahwa pemerintah membutuhkan tambahan sekitar 62.000 pegawai pajak.