Demokrasi yang Tertunda: Mengapa Indonesia Masih Terhambat?

Guna memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi politik saat ini, penting bagi kita untuk menelusuri kembali sejarahnya yang sarat dengan tantangan.

Joko Widodo resmi menjabat sebagai presiden ketujuh pada tanggal 20 Oktober 2014. Dalam konteks sejarah demokrasi yang masih relatif muda—kurang dari dua dekade—beliau menjadi presiden demokratis kelima, sekaligus presiden kedua yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

Seperti halnya yang kerap terjadi di negara dengan demokrasi yang masih berkembang, pemilihan presiden tahun 2014 turut diselimuti oleh munculnya kembali retorika dan pola-pola otoriter dari sejumlah aktor politik. Meski demikian, Jokowi—yang menjadi presiden pertama dari luar lingkaran elite politik era Orde Baru Soeharto—berhasil meraih kemenangan dengan margin yang tipis.

Untuk memahami dinamika sosial politik masa kini secara menyeluruh, penting bagi kita meninjau kembali sejarah bangsa ini. Tantangan dalam membangun demokrasi selama beberapa tahun terakhir merupakan hal yang lumrah bagi negara dengan keragaman etnis dan budaya, yang sejak kemerdekaan tahun 1945 terus berupaya membentuk kesadaran nasional yang bersatu.

Jalan Menuju Kemerdekaan

Sejak meraih kemerdekaan, telah mengalami berbagai krisis politik. Dengan populasi sekitar 240 juta jiwa yang tersebar di ribuan pulau, negara ini memiliki potensi luar biasa. Dalam beberapa tahun terakhir, kerap dipandang sebagai teladan bagi negara-negara berkembang. Namun, setiap kali menghadapi tantangan dalam proses konsolidasi demokrasi, para pengamat sering kali menyoroti kelemahannya tanpa memperhitungkan konteks historis dan kompleksitas yang melekat sebagai negara dengan beragam persoalan.

Sebelum pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II, wilayah Hindia Belanda telah lama berada di bawah pengaruh kolonial, dimulai oleh Portugis dan kemudian secara lebih intensif oleh Belanda selama hampir tiga abad. Ketika Jepang berhasil mengalahkan pasukan sekutu Hindia Belanda dengan mudah pada tahun 1942, dominasi dan mitos keunggulan ras kulit putih pun runtuh. Sebelumnya, gagasan tentang kedaulatan hanya terbatas pada segelintir elite dengan kekuasaan politik yang terbatas. Dalam upaya memanfaatkan penduduk lokal untuk kemungkinan konflik melawan sekutu di masa depan, Jepang mulai mempersenjatai dan melatih sejumlah kelompok sebagai milisi. Walaupun tidak terjadi pertempuran besar antara pasukan sekutu dan militer Jepang di wilayah ini, milisi-milisi tersebut kemudian menjadi hambatan serius bagi Belanda yang berusaha kembali menjajah Hindia Belanda—upaya yang didukung oleh pasukan Inggris, yang secara ironis sebagian besar terdiri dari resimen Asia Selatan.

Pada masa-masa awal setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, terjadi kebuntuan antara pasukan kolonial dan kelompok anti-kolonial serta milisi yang sering kali saling berselisih, sehingga tidak ada pihak yang mampu meraih kemenangan secara mutlak. Situasi ini mulai berubah ketika kelompok pendukung Soekarno—yang kelak menjadi presiden pertama—menunjukkan ketegasan dalam menghadapi pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948. Sikap tersebut memperkuat posisi gerakan kemerdekaan di mata dunia, khususnya Amerika Serikat, yang saat itu sangat mendukung kekuatan politik dengan sikap anti-komunis yang jelas. Akibatnya, pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi diakui sebagai negara merdeka oleh komunitas internasional, meskipun terdiri dari lebih dari 200 kelompok etnis dan bahasa yang sebelumnya belum pernah bersatu dalam satu kesatuan wilayah seperti ini.

Pembangunan Bangsa Soekarno

Dalam tahun-tahun setelah kemerdekaan, Soekarno berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang visioner dalam urusan luar negeri sekaligus sebagai tokoh pendiri bangsa, yang menjadikannya tetap dikenang hingga kini. Ia memahami tantangan besar yang dihadapi sebagai negara dengan keragaman sosial budaya yang luas, serta pentingnya menyatukan rakyat sambil mendorong pembangunan ekonomi. Untuk itu, Soekarno banyak mengandalkan retorika nasionalisme yang menolak kolonialisme. Kiprahnya dalam menyelenggarakan Konferensi Bandung tahun 1955 dan dalam merintis Gerakan Non Blok menjadi simbol upaya menawarkan jalan alternatif bagi negara-negara baru merdeka di tengah ketegangan ideologis Perang Dingin, sekaligus memperkuat citra di mata dunia, baik secara domestik maupun internasional.

Pada masa awal kemerdekaan, meskipun secara formal menganut sistem demokrasi berdasarkan konstitusi 1945 dan 1949, pelaksanaan hak-hak demokratis masih terbatas akibat rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat terhadap tata kelola institusional. Situasi ini berubah pada tahun 1955 ketika Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Meskipun diklaim sebagai solusi atas kelemahan demokrasi liberal, sistem ini pada kenyataannya memperkuat kekuasaan Soekarno dan mengarah pada pemerintahan otoriter dengan menyingkirkan hak-hak demokratis yang sebelumnya dijamin. Di sisi lain, Pancasila sebagai ideologi negara digunakan secara efektif untuk menekan perbedaan pendapat dan menjaga keseragaman pandangan politik.

Pada periode tersebut, pengaruh politik Soekarno mulai melemah, terutama karena kehilangan kendali atas dua kekuatan sosial utama: militer (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak masa perjuangan kemerdekaan, militer telah berperan signifikan, dan melalui konsep Dwifungsi, tidak hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, tetapi juga sebagai aktor politik aktif. Akibatnya, banyak perwira tinggi menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Pada dekade 1960-an, militer tampil sebagai kekuatan dominan, sementara kondisi ekonomi yang memburuk menjadikan ideologi komunis dan sosialis semakin menarik bagi masyarakat, baik di desa maupun di kota.

Sejak tahun 1955, pemerintahan Soekarno menunjukkan tanda-tanda kemunduran yang jelas. Melalui retorika Konfrontasi yang semakin tajam terhadap negara-negara Barat dan Malaysia—yang dipandang sebagai perpanjangan tangan kekuatan asing—Soekarno berupaya mengalihkan perhatian masyarakat dari krisis internal yang kian memburuk, baik secara ekonomi maupun politik. Strategi ini menciptakan narasi bahwa ancaman utama berasal dari luar negeri, sehingga mendorong berbagai kelompok sosial dan etnis di dalam negeri untuk bersatu dan menerima dominasi pemerintah.

Pada tahun 1965, upaya Soekarno untuk mempertahankan keseimbangan antara militer dan PKI berakhir dengan kegagalan. Kudeta yang dilancarkan oleh PKI segera digagalkan oleh militer, memicu kekacauan nasional. Dalam situasi tersebut, terjadi pembunuhan massal yang dibenarkan sebagai tindakan anti-komunis, menewaskan hingga 1,5 juta orang dalam waktu singkat. Berbagai spekulasi muncul mengenai keterlibatan Soekarno dan campur tangan negara asing seperti Amerika Serikat, China dan Rusia dalam peristiwa ini. Pada akhirnya, strategi politik Soekarno berujung pada kekalahan yang membawa dampak besar. Militer mengambil alih kendali, dan Jenderal Soeharto kemudian naik sebagai presiden kedua.

Dari Orde Baru Menuju Demokrasi

Kekuasaan otoriter Soeharto berlangsung selama lebih dari 30 tahun, hingga akhirnya runtuh pada tahun 1998 akibat krisis finansial Asia dan tekanan sosial yang meningkat. Gelombang demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi politik berubah menjadi gerakan massa yang menggulingkan rezim Orde Baru. Sejak awal pemerintahannya, Soeharto menerapkan kontrol ketat terhadap kehidupan politik dan sosial. Pancasila digunakan sebagai legitimasi bagi sistem pemerintahan yang otoriter, sementara konsep SARA menjadi simbol dari praktik swasensor yang melarang media membahas isu-isu sensitif seperti agama dan etnis secara terbuka. Dengan mengacu pada nilai-nilai budaya Jawa, pemerintahan Soeharto berhasil membentuk pola politik yang menekankan keharmonisan dan pengendalian diri.

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 menimbulkan kekosongan kekuasaan yang wajar dan memicu kekhawatiran akan fragmentasi politik. Namun, berkat kombinasi tekanan domestik dan internasional untuk reformasi, serta kekacauan di kalangan elite pendukung Soeharto, pemerintahan transisi di bawah Presiden Habibie berhasil mendorong lahirnya berbagai undang-undang baru yang membuka ruang bagi sistem politik yang lebih terbuka. Dalam waktu singkat, media dan kelompok politik memperoleh kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Meski demikian, tidak semua pihak memanfaatkan kebebasan ini untuk memperkuat demokrasi. Setelah masa adaptasi singkat, aktor-aktor baru mulai mengejar kepentingan pribadi, sementara tokoh-tokoh lama kembali bersaing memperebutkan pengaruh. Sejak saat itu, proses demokratisasi mengalami dinamika yang tidak selalu stabil.

Dominasi militer sebagai aktor politik tradisional tetap sulit dihilangkan sepenuhnya. Dalam proses transisi menuju demokrasi, DPR memang telah mencabut hak militer atas kursi yang sebelumnya dijamin di parlemen. Namun, seperti halnya pada era Orde Baru, banyak tokoh politik tetap berasal dari latar belakang militer. Contohnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sebelum Jokowi, serta Prabowo Subianto, rival utama dalam pemilihan presiden. Situasi ini menunjukkan bahwa jejak panjang pemerintahan otoriter masih memengaruhi dinamika politik, dan tidak mengherankan jika struktur lama Orde Baru tetap berpengaruh di bawah permukaan.

Gagasan Jokowi tentang Indonesia

Saat Indonesia meraih kemerdekaan dan membentuk identitas kenegaraannya, muncul kebutuhan untuk membangun konsep kebangsaan dan menciptakan komunitas imajiner yang menyatukan beragam elemen masyarakat. Soekarno dan Soeharto menempuh jalur masing-masing yang kerap kontroversial, namun keduanya memberikan pengaruh besar terhadap budaya politik nasional. Dalam menghadapi dinamika politik masa kini, diperlukan sikap bijak dan kehati-hatian. Meski sebagian pihak memandang Joko Widodo sebagai figur pembaru seperti Barack Obama, yang kemudian dianggap gagal memenuhi ekspektasi, situasi ini sebaiknya diamati lebih cermat. Tidak realistis mengharapkan perubahan drastis dalam sistem politik yang telah lama dikritik karena praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, kemenangan Jokowi sebagai tokoh baru dengan visi demokratis memberikan harapan untuk kembali memperkuat komitmennya terhadap demokrasi.

Visited 1 times, 1 visit(s) today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *