Abdullah Rajab bukan lagi pria muda. Rambutnya telah memutih seluruhnya, dan saat tertawa tampak jelas banyak giginya yang hilang. Namun, setiap kali anak muda menanyakan tentang pelestarian Sungai Krueng Sabee, pria berusia 65 tahun ini selalu menunjukkan perhatian dan semangat yang luar biasa dalam setiap diskusi.
Sungai Krueng Sabee yang membentang sepanjang 30 km berada di kecamatan dengan nama yang sama di Aceh Jaya—salah satu kabupaten yang paling parah terdampak tsunami yang melanda Sumatra pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana tersebut merusak infrastruktur, menewaskan dan membuat ribuan orang hilang, serta menyisakan sedikit garis pantai. Satu-satunya wilayah yang selamat adalah perbukitan berhutan lebat Bukit Barisan. Hutan inilah yang ingin dilestarikan oleh Rajab bersama Forum Sungai Krueng Sabee yang didirikan pada tahun 2008.
Setiap tahun, Rajab melihat lumpur semakin memenuhi aliran Sungai Krueng Sabee yang berkelok melewati rumahnya di Desa Bunta. Saat musim hujan tiba, Bunta dan desa-desa di sepanjang sungai kerap dilanda banjir. Rajab mengaitkan kekeruhan air dan banjir tersebut dengan erosi tanah di hulu sungai. “Kita tahu semua hutan sudah ditebang—orang-orang mengambil kayu dari wilayah ini tanpa kendali,” ujarnya.
Hutan yang berada dalam wilayah pengelolaan Forum Sungai Krueng Sabee mencakup area seluas 500 hektare. Kawasan ini menjadi habitat bagi gajah, harimau, beruang madu, monyet ekor panjang, siamang, lutung serta berbagai jenis burung. Rajab mengenang bahwa pada tahun 1970-an—saat pertama kali mengunjungi sungai setelah pindah ke Bunta dari kampung halamannya di Aceh Selatan—hutan Krueng Sabee masih terjaga dengan baik. Saat itu, penduduk dapat langsung meminum air sungai tanpa penyaringan, bahkan warga Calang, ibu kota Aceh Jaya, juga mengambil air minum dari sungai tersebut.
Pada dekade 1980-an, sebagian besar hutan Aceh dialihkan menjadi area konsesi penebangan. Hutan Krueng Sabee masuk dalam konsesi PT Aceh Timber. Setelah pohon-pohon besar ditebang dari wilayah tersebut, lahan kemudian diubah menjadi perkebunan kelapa sawit milik PT Boswa. Selain itu, banyak warga setempat juga mulai melakukan penebangan liar.
Situasi semakin rumit ketika Aceh memasuki masa rekonstruksi pasca-tsunami tahun 2004. Permintaan kayu untuk membangun kembali rumah, sekolah, kantor pemerintahan dan jalan meningkat tajam. Kondisi ini mendorong penebang liar untuk menebang pohon-pohon besar di hutan lindung sekitar hulu Krueng Sabee.
“Hutan Krueng Sabee dulu menjadi sumber kayu,” kenang Rajab. “Batang-batang yang ditebang biasanya dihanyutkan melalui sungai.”
Pada tahun 2006, setelah pemerintah dan GAM mencapai kesepakatan damai usai 30 tahun konflik bersenjata, masyarakat mulai memasuki kawasan hutan Krueng Sabee. Setahun kemudian, emas ditemukan di Gunung Ujuen yang berada di daerah aliran sungai, menjadikan hutan lindung tersebut magnet bagi para penambang. Bahkan Rajab sendiri sempat ikut dalam demam emas ini.
Kerusakan hutan semakin parah disertai dengan meluasnya pencemaran merkuri. Namun, gelombang perusakan ini berhasil dihentikan pada tahun 2008 berkat upaya WWF dan Palang Merah Amerika.
Sebagai bagian dari program rekonstruksi pasca-tsunami, Palang Merah membangun rumah bagi korban bencana serta menyediakan fasilitas air bersih untuk warga Calang. Mereka berencana memanfaatkan air dari Krueng Sabee, sehingga meminta WWF untuk mengajak masyarakat setempat menjaga kelestarian hutan dan kebersihan sumber air.
“Sebelumnya kami tidak mengenal istilah DAS,” ujar Irwandi, yang kini mengawasi pengambilan air di perusahaan air minum setempat. “Setelah LSM datang, kami mulai memahami pentingnya menjaga DAS Krueng Sabee sebagai sumber air.”
Rajab—mantan penambang emas yang kini beralih menjadi petani karet—memanfaatkan posisinya sebagai perwakilan desa untuk mengajak sebanyak mungkin warga memahami pentingnya menjaga daerah tangkapan air. Namun, ia mengakui bahwa kenyataannya sebagian besar masyarakat masih merusak lingkungan di kawasan tersebut.
Di Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya, terdapat 13 desa, sebagian besar berada di tepi sungai yang menjadi nama kecamatan tersebut. Hampir semua desa, kecuali yang berada di perbukitan, terdampak parah oleh tsunami. Dari sekitar 200.000 penduduk, Rajab termasuk sedikit yang aktif mengadvokasi pemulihan kualitas air sungai agar kembali bersih seperti semula. Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Sabee yang beranggotakan 10 orang—kebanyakan lansia—mengelola satu desa masing-masing di sepanjang sungai.
“Ini bukan hal yang mudah. Saat ini, hanya sekitar 40% warga Krueng Sabee yang memahami pentingnya daerah tangkapan air,” ujar Rajab. “Secara perlahan, kami akan terus mengajak masyarakat untuk terlibat.”
Sejak forum itu terbentuk, Rajab bersama para anggota telah menanam ribuan pohon mahoni di sepanjang bantaran Sungai Krueng Sabee. Kini, pohon-pohon tersebut telah tumbuh menjulang setinggi bangunan rumah.
Mereka melakukan penanaman di kawasan restorasi Babah Krueng yang membentang seluas 181 hektare di bagian hilir sungai. Wilayah ini sebelumnya dipenuhi kebun buah milik warga, namun sempat terlantar akibat konflik. Saat ini, jejak-jejak di hutan menunjukkan bahwa gajah, harimau dan beruang madu kerap melintasi area tersebut sebagai jalur pergerakannya.
Pada tahun 2011, forum ini sukses mengajukan permohonan kepada Bupati Aceh Jaya untuk mengelola kawasan di sekitar hulu sungai. Mereka menjadi komunitas pertama di Aceh Jaya yang memperoleh izin pengelolaan hutan desa selama tiga dekade.
Nurdin PM, tokoh adat yang disegani di Krueng Sabee, menyampaikan bahwa pengelolaan hutan desa akan dilakukan secara kolaboratif antara forum dan warga lokal. “Kami merasa sangat gembira dengan kemajuan ini,” katanya. “Selama bertahun-tahun, kami tidak bisa memanfaatkan hutan adat karena wilayahnya termasuk dalam konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit.”
Forum pengelola daerah aliran sungai telah menanam ribuan bibit pohon kopi, durian, rambutan, jaloh dan jabon di kawasan sekitar hulu sungai.
“Kita harus mempertimbangkan sumber penghidupan lain bagi warga yang selama ini lebih memilih menebang pohon,” kata Nurdin saat menjelaskan alasan forum memilih jenis bibit tertentu. “Karena itulah kami menanam pohon buah di kawasan restorasi, agar masyarakat bisa membudidayakan dan memanennya sendiri.”
Walaupun forum DAS Krueng Sabee telah berhasil memulihkan sejumlah habitat penting, upaya mengembalikan ekosistem ke kondisi aslinya tetap menghadapi tantangan besar. Dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Kini, jumlah pohon yang ditebang masih melebihi jumlah yang ditanam.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Rajab dan timnya tetap memelihara semangat positif. “Prinsip saya adalah tidak terpaku pada kerusakan yang telah terjadi,” ujar Rajab. “Kami akan melakukan pemulihan secara bertahap. Mungkin butuh waktu puluhan tahun sebelum hasilnya terlihat. Namun saya tetap berharap, suatu saat nanti, air Krueng Sabee akan kembali sejernih saat pertama kali saya menapakkan kaki di sana.”